HalanganNews- Setiap suku memiliki cara yang unik untuk menyambut dan merayakan bulan suci Ramadhan. Salah satunya adalah etnis Banjar, suku mayoritas yang mendiami tanah Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Tabalong ini memiliki kegiatan yang unik untuk merayakan malam Lailatul Qadar. Kegiatan tersebut disebut dengan Festival Tanglong.
Tanglong dikenal sebagai sebuah ornament atau replika atau miniatur atau lebih mirip dengan lampion, dengan berbagai bentuk dan model yang dikemas dalam nuansa Islami. Dari bentuk miniatur masjid, onta, manusia berbusana muslim, rumah adat Banjar, beduk, pohon kurma, gowa hira, hingga bentuk replika burung buraq.
Tradisi Tanglong kerap dilaksanakan pada malam ke 21 Ramadhan, atau dikenal dengan malam Nuzulul Quran, ataupun malam salikuran hingga menjelang lebaran. Dimana pada malam-malam tersebut dikenal pula sebagai malam Lailatul Qadar.
Sempat tidak digelar sejak beberapa tahun yang lalu akibat adanya pandemi covid-19, untuk Ramadahan kali ini kegiatan Festival Tanglong kembali dilaksanakan dengan meriah di Kabupaten Tabalong, tepatnya di kecamatan Kelua pada Senin malam, 10/04/2023. Bertempat di Terminal Pasar Induk Kelua sehabis sholat tarawih, terlihat banyak mobil-mobil berhiaskan berbagai macam ornament dan miniatur serta lampu hias siap untuk melaksanakan Festival Tanglong.
Ketua Panitia Pelaksana, H. Rodzali menyebut pada gelaran kali ini tidak hanya di ikuti oleh peserta dari Kecamatan Kelua, namun peserta juga datang dari wilayah kecamatan Pugaan, Banua Lawas, serta kecamatan Muara Harus. “Tahun ini peserta berjumlah 32 yang berasal dari wilayah selatan dan tengah Kabupaten Tabalong, bahkan ada juga yang datang dari Kabupaten tetangga kita. “Adapun rute pawai yang kita pilih adalah mulai star di terminal kelua menuju desa Telaga Itar lalu menyeberang ke desa Ampukung ke arah Masintan kembali menyeberang ke kelurahan Pulau dan berakhir atau finish di terminal induk Kelua”, beber H. Rodzali.
Dalam sebuah riwayat masyarakat Banjar, Tanglong itu sendiri dulunya lebih dikenal dengan nama Badadamaran, karena penerangan ornament Tanglong masih menggunakan pelita lampu dari getah kayu damar. Namun sejak 3 dekade terakhir, tradisi badadamaran ini memudar seiring habisnya damar dan tergantikan dengan pelita dari sumbu kain yang diletakkan di obor yang terbuat dari bambu maupun botol bekas atau kaleng kemasan dengan bahan bakar minyak tanah.
Dan seiring waktu, tradisi ini perlahan bergeser pola dan bentuknya, hingga kini dominan dihiasi oleh lampu hias dengan warna-warni yang lebih gemerlapan dan cemerlang.
Kini Tanglong menjadi sebuah tradisi budaya bernuansa Islami yang memiliki ruang tersendiri bagi masyarakat dari berbagai kalangan, berbagai umat agama, berbagai suku dan dari berbagai usia.
Tanglong kini menjadi sebuah penegasan budaya yang dapat ditemui di bulan Ramadhan, yang merupakan ekspresi budaya masyarakat Banjar dalam sebuah tontonan dan hiburan alternatif untuk semua kalangan.